Disahkannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UUASN) adalah hadiah tahun baru pegawai negeri sipil.
Seperti payung hukum kepegawaian sebelumnya, para abdi negara merupakan subyek
binaan pada undang-undang ini. Yang membedakan, dalam undang-undang yang
ditandatangani medio Januari 2014 itu ada penekanan pada profesi yang diemban.
Inkonsistensi
Status Jabatan Hakim
Hakim adalah pejabat negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Kira-kira demikian bunyi
Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal senada juga
dijabarkan dalam undang-undang setiap peradilan, baik peradilan umum (UU No. 49
Tahun 2009), peradilan agama (UU No. 50 Tahun 2009), maupun peradilan tata
usaha negara (UU No. 51 Tahun 2009).
Dalam undang-undang kekuasaan kehakiman
terbaru itu, dengan jelas disebut hakim adalah pejabat negara. Tetapi di internal
hakim sendiri, seakan belum ada kata sepakat. Cenderung masih menimbulkan
multitafsir. Kondisi ini sangat beralasan, karena para pengadil khususnya di
tingkat pertama dan banding, disatu sisi menyandang status pejabat negara,
disisi lain masih disebut pegawai negeri sipil (PNS).
Ketika menerjemahkan posisi hakim, dalam tulisan ini hanya menyinggung hakim tingkat pertama dan tingkat banding semua badan peradilan. Hakim agung dan hakim konstitusi sebagaimana maksud undang-undang kekuasaan kehakiman terbaru, tidak dibahas lebih lanjut. Kejelasan status dua jabatan “agung” tersebut telah disandang sejak dasar hukum kedua lembaga tinggi negara itu diakui kehadirannya di negeri ini.
Di Mahkamah Agung (MA) misalnya, sejak
akhir tahun 1985, para pemutus perkara telah disebut pejabat negara. Di Pasal 6
UU No. 14 Tahun 1985 disebutkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim
Anggota Mahkamah Agung dalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan
Kehakiman. Telah dua kali diadakan perubahan undang-undang, tapi tidak pernah
“merevisi” status hakim agung tersebut.
Makna serupa juga bisa dijumpai pada
undang-undang pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Sejak kali pertama
didirikan, kedudukan hakim konstitusi telah disebut secara jelas dan terang
benderang dalam Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2003. Pasal dimaksud menuliskan bahwa
hakim konstitusi adalah pejabat negara. Kalimat ini tetap ada meski
undang-undang MK dirubah dan disempurnakan dengan UU No. 8 Tahun 2011.
Penulis mengemukakan hal tersebut di atas,
bukan semata ingin membanding-bandingkan hakim agung dan hakim konstitusi
dengan hakim di tingkat pertama maupun tingkat banding. Pada undang-undang MA
dan MK, tampak ada sikap “satu kata” akan posisi para hakim di lembaga serumpun
tersebut. Bahkan istilah itu dikuatkan pula dalam undang-undang kekuasaan
kehakiman sebagai undang-undang pokok bagi MA dan MK.
Dari peraturan perundang-undangan yang ada
(UU kekuasaan kehakiman dan semua badan peradilan), pada dasarnya hakim telah
jelas dan nyata disebut pejabat negara. Adanya aturan yang tumpang tindih,
tidak sejalan, telah memberi ruang bagi pengambil kebijakan untuk acuh tak acuh
terhadap para hakim. Munculnya perlakuan yang timpang dan tidak sama seperti
pejabat negara lainnya, telah memunculkan polemik dan persoalan baru.
Sebelum terbitnya undang-undang tersebut di
atas, dalam Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,
hakim sebagai pejabat negara sudah sangat jelas disebutkan. Namun faktanya,
keadaan hakim tidak sebahagia pejabat negara lain. Seakan ada perlakuan yang
sengaja membuat demikian. Adanya “ketidakadilan” ini, menyebabkan status hakim
masih terus dipersoalkan hingga sekarang.
Menulusuri
Rekam Jejak Status Hakim
Memposisikan hakim sebagai pejabat negara
seperti setengah hati dilakukan. Padahal dalam perubahan pertama undang-undang
pokok kepegawaian seperti disinggung di atas, telah disebutkan bahwa hakim pada
semua badan peradilan termasuk pejabat negara.
Anehnya, pada undang-undang kekuasaan
kehakiman yang terbit tahun 2004 tidak menyebut hakim demikian. Inilah yang
penulis maknai setengah hati. Dalam Pasal 31 disebutkan hakim adalah pejabat
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Sangat
bertolak belakang dengan maksud undang-undang pokok kepegawaian yang terbit di
masa pemerintahan BJ Habibie tersebut.
Ketika ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman dijadikan paying hukum pada tahun 1970, sebutan hakim (termasuk hakim
agung) sebagai pejabat negara belum ditemukan. Yang tampak adalah sebagaimana
bunyi pasal 31 undang-undang tersebut bahwa hakim diangkat dan diberhentikan
oleh kepala negara.
Entah dari mana, pada tahun 1986 dengan
disahkannya undang-undang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, di
pasal yang sama (poin 12), dikatakan hakim adalah pejabat yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman. Kalimat yang sama juga dijumpai pada Pasal 11 UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sepuluh tahun berjalan (1999), disahkanlah
undang-undang pokok kepegawaian seperti tersebut di atas. Uraian Pasal 11
menyebutkan dengan jelas dan terang, hakim pada semua badan peradilan adalah
pejabat negara. Namun pada tahun 2004, sebutan untuk anggota Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) ini tidak serupa dengan maksud undang-undang kepegawaian
dimaksud.
Defenisi hakim seperti di era 80-an muncul
kembali. Baik di undang-undang kekuasaan kehakiman maupun undang-undang tentang
badan peradilan. Untuk peradilan agama, perubahan pertama terjadi pada tahun
2006.
Barulah istilah itu (pejabat negara) hadir
lagi dengan disahkannya undang-undang kekuasaan kehakiman (UU No. 48 Tahun
2009). Sebutan yang sama dikuatkan pula oleh undang-undang badan-badan
peradilan sebagai undang-undang “turunan” dari kekuasaan kehakiman. Bahkan kata
hakim sudah mencakup hakim
agung dan hakim konstitusi.
Persoalan tidak hanya sampai disitu. Sejak
diundangkan pada tahun 2009, realisasi hak-hak konstitusional hakim sebagai
pejabat negara sebagaimana tertera dalam undang-undang tak kunjung jadi
kenyataan. Ditambah gaji yang sudah sekian tahun tidak naik seperti pegawai
negeri sipil pada umumnya.
Sejak itulah, pertanyaan apakah hakim berstatus
PNS atau Pejabat Negara mulai ramai dibicarakan di kalangan para pengadil. Jika
termasuk PNS, kenapa setiap gaji naik, hakim tidak ikut naik. Kalau disebut
pejabat negara, kenapa pula fasilitas dan kesejahteraan yang pantas tidak
seperti pejabat negara lainnya. Misalnya anggota DPR atau Bupati / Walikota.
Dugaan ketidakjelasan status itu diperparah
dengan fakta dan keadaan hakim yang sangat memprihatinkan. Itupun merata hampir
di seluruh tanah air. Di kota besar saja sudah disebut tidak layak, bagaimana
dengan mereka yang berada di daerah terpencil. Bahkan akibat sering dimutasi,
penghasilan bulanan harus disiasati dengan cara gali lobang tutup lobang.
Mirisnya keadaan hakim tersebut, yang tidak
sesuai dengan keinginan undang-undang, memunculkan gejolak. Dimotori para hakim
muda, seruan mogok sidang pernah jadi berita hangat di media televisi dan media
online. Bagaimana tidak, dasar hukum
konstitusionalnya sudah terbit sejak 2009, namun hingga 2012, belum juga
terealisasi.
Alhasil, ketika terbit putusan MK No.
37/PUU-X/2012 yang semakin memperjelas status hakim, selang berapa bulan
kemudian, terbitlah Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012. PP tersebut
mengatur tentang hak-hak konstitusional hakim. Meskipun hingga kini belum
sepenuhnya terlaksana. Dan tentunya ini bukan
soal kesejahteraan semata.
Pasca
UUASN, Masih Adakah Multitafsir?
Dalam aturan dasar pokok-pokok kepegawaian
(UU No. 43 Tahun 1999), telah jelas dan terang benderang disebutkan bahwa hakim
pada semua badan peradilan adalah pejabat negara. Pada Pasal 11 ayat 3
disebutkan bahwa pegawai negeri yang diangkat menjadi pejabat negara tertentu
tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya.
Dari rumusan pasal tersebut, serta
memperhatikan penjelasan ayat telah diketahui bahwa hakim adalah pejabat negara
yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Hal yang sama juga dialami Ketua, Wakil
Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan para duta besar
Indonesia di luar negeri.
Hadirnya undang-undang Aparatur Sipil Negara
merupakan pengganti dari undang-undang sebelumnya. Artinya, hal ihwal
kepegawaian seperti penulis uraikan di atas pada dasarnya sudah dianulir dan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, sebagai prolog dan perbandingan adalah
pantas untuk dimunculkan dalam tulisan ini.
Ketika melihat uraian Pasal 88 ayat 1
UUASN, disebutkan bahwa PNS diberhentikan sementara apabila diangkat sebagai
Pejabat Negara. Sepintas, bunyi pasal ini juga menyangkut hakim. Tapi akan
diperoleh pemahaman yang berbeda ketika kita menelaah pasal-pasal selanjutnya.
Pada Bab X khususnya Pasal 121 dikatakan
bahwa Pegawai ASN dapat menjadi Pejabat Negara. Siapa itu pegawai ASN? Dalam
Pasal 1 poin 2 diuraikan, Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil yang diangkat
oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas negara lainnya. Demikian
kurang lebih kalimatnya.
Sebagaimana halnya di undang-undang
kepegawaian sebelumnya. Yang dinamakan pejabat negara termasuk di dalamnya
hakim pada semua badan peradilan. Demikian uraian yang bisa disimak di Pasal
122 UUASN.
Selanjutnya dalam uraian Pasal 123, pada
dasarnya yang dimaksud pasal tersebut tidak termasuk hakim. Jadi menurut UUASN
ini, hakim adalah Pegawai ASN yang berstatus Pejabat Negara. Posisi dan status
hakim dikuatkan oleh ketentuan Pasal 121 dan 122 undang-undang ini. Mengenai
hak-hak konstitusional, telah disebutkan dalam undang-undang kekuasaan
kehakiman sebagai undang-undang pokok dari semua badan peradilan.
Meskipun demikian, makna hakim sebagai
pejabat negara atau termasuk pegawai negeri sipil seperti masih belum ada titik
terang. Pasalnya, ketika UUASN ini disahkan, di jejaring sosial, polemik klasik
di internal hakim masih saja terjadi. Penulis berharap, semoga tulisan bisa
memberi pencerahan bagi yang belum memahami. Billahittaufik walhidayah.
(sumber tulisan : Ilman Hasjim, SHI, MH.(Hakim Pengadilan Agama Andoolo, Sulawesi Tenggara)
(sumber tulisan : Ilman Hasjim, SHI, MH.(Hakim Pengadilan Agama Andoolo, Sulawesi Tenggara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar