Social Icons

Sabtu, 01 Maret 2014

Sejarah Mahkamah Agung (Bag II)


Gedung Mahkamah Agung R.I

Mahkamah Agung Pasca UU No.14 Tahun 1970
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang; “Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.
Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut:
1. Fungsi Paradilan;
2. Fungsi Pengawasan;
3. Fungsi Pengaturan;
4. Fungsi Memberi Nasehat;
5. Fungsi Administrasi.
Mahkamah Agung Pasca Reformasi
Lahirnya gerakan reformasi tahun 1998 dan penyelenggaraan pemilihan umum pertama pasca reformasi tahun 1999 telah menghasilkan kekuatan partai politik yang menghendaki dilaku­kannya perubahan (amandemen) terh­adap UUD 1945. Akhirnya, perubahan UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Ke­empat tahun 2002 telah melahirkan dua lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Beberapa alasan dilakukannya pe­rubahan terhadap UUD 1945 tersebut antara lain adalah : Pertama, UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kedua, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada peme­gang kekuasaan eksekutif/Presiden (executive heavy) yang memberikan kekuasaan dominan kepada Presiden dengan hak-hak prerogatif (memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang bersama DPR. Ketiga, pasal-pasal dalam UUD 1945 terlalu “luwes” dan “fleksibel” yang mengakibatkan multi tafsir. Keempat, UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada Presiden terlalu luas se­hingga pengaruh Presiden dalam pembentukan undang-undang sangat dominan. Kelima, rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan otonomi daerah.
Sebelum amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pada masa yang lalu, kekuasaan kehaki­man banyak dipengaruhi dan tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya termasuk pemerintah yang benar-benar mempengaruhi jalannya peradilan yang bebas dan mandiri.
Setelah reformasi yang dimulai pada tahun 1998, maka ide untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 mulai muncul sejak tahun 1999 dengan Perubahan Pertama yang berlanjut hingga Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak tahun 1999, sebenarnya telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan kehakiman dalam satu atap (one roof system) yaitu di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, lembaga peradilan mempunyai dua atap, yaitu :
- Peradilan umum dan peradilan tata usaha negara: pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah pemerintah cq. Departemen Kehakiman (sekarang Dephukham) dan pembinaan teknis peradilan di bawah Mahkamah Agung R.I.
- Peradilan agama: pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen Agama dan pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
- Peradilan militer : pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen Pertahanan dan pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
Sistem dua atap tersebut mulai diakhiri dengan diterbitkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem dua atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1), secara organisatoris, adminis­tratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut adalah lima tahun sampai dengan Agustus 2004.
Prinsip Checks and Balances
Hasil perubahan terhadap UUD 1945 tersebut sebenarnya mempertegas pemi­sahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, yang sebelum­nya dikesankan sebagai pembagian kekuasaan sehingga seolah-olah kebebasan dan kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya tidak berifat mutlak bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Saat ini, dengan telah selesainya peralihan kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, maka kesan “pembagian” kekuasaan benar-benar telah berubah menjadi “pemi­sahan” kekuasaan.
Namun demikian, pelaksanaan pemisahan kekuasaan negara ini dalam prak­teknya tetap dijalankan dalam kerangka saling mengawasi (checks and balances) agar ketiga cabang kekuasaan negara tersebut tetap berada dalam keseimbangan.2 Gagasan perubahan terhadap UUD 1945 merupakan keniscayaan yang alami, karena dalam cyclus theory, perubahan sistem kekuasaan diktatorial akan selalu menuju pada sistem kekuasan demokratis, dimana kekuasaan rakyat dominan memegang kekuasaan. Dalam era Orde Lama dan Orde Baru hampir dipastikan tidak ditemui adanya sistem checks and balances.
Prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, juga ditegaskan kembali dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dan tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3). Dalam negara hukum terkandung prinsip pembatasan kekuasaan, perlindungan terhadap HAM, tindakan pemerintah harus didasarkan pada perundang-undangan yang sah dan tertulis (rules and procedures). Secara umum saat ini terdapat dua belas prinsip negara hukum yaitu:3
1. Supremasi konstitusi (supremacy of law)
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
3. Asas legalitas (due process of law)
4. Pembatasan kekuasaan (limitation of power)
5. Organ pemerintahan yang independen.
6. Peradilan yang bebas dan tidak memihak ( independent and impartial judiciary)
7. Peradilan tata usaha negara ( administrative law)
8. Perlindungan hak asasi manusia
9. Demokratis (democratische rechsstaats)
10. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsstaat)
11. Transparansi
12. Kontrol sosial.
Prinsip-prinsip negara hukum tersebut telah tercakup dalam UUD 1945 beserta perubahan-perubahannya sebagai perwujudan checks and balances antar pemegang kekuasaan negara menuju terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, makmur dan sejahtera.
Mahkamah Agung, sebagai pemegang kekuasan tertinggi di bidang kekuasaan kehakiman, mempunyai tanggungjawab besar dalam menjaga keseimbangan antar kekuasaan dan menjaga prinsip independensi peradilan sebagai prinsip utama negara demokrasi. Independensi lembaga peradilan dijamin berdasarkan hukum internasional, antara lain :
- Declaration of Human Rights (article 10)
- International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (article 14)
- Vienna Declaration and Programme for Action 1993 (paragraph 27)
- International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, New Delhi 1982
- Universal Declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983, dan sebagainya.
Baik sebelum perubahan maupun sesudah perubahan terhadap UUD 1945, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara pemegang kekuasan yudikatif. Setelah perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman selain berpuncak ke Mahka­mah Agung juga berpuncak ke Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi bentukan pasca perubahan UUD 1945, sebagai konsekuensi logis dari perwujudan gagasan checks and balances. Menurut Hamdan Zoelva, perubahan UUD ini telah mengintrodusir lembaga negara yang baru di bidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya berada di samping Mahkamah Agung.
Setelah Perubahan Ketiga, maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945 pasca perubahan, yaitu :
Pasal 24
(1)  Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyeleng­garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan pera­dilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang.
Pasal 24 A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
(3) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
(4) Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Menurut Jimly Asshiddiqie, secara kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun yaitu negara hukum yang demokratis.
Gedung Mahkamah Agung R.I Tampak dari atas
Pembaharuan Mahkamah Agung
Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, eksistensi peradilan agama juga diberi­kan kedudukan yang sederajat dengan badan peradilan lainnya sebagai kesatuan sistem yang ditentukan berdasarkan UUD. Sebelumnya, meskipun dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan kesederajatannya, tetapi secara administratif, manajemen dan penyelenggaraan tugas-tugas peradilan, peradilan agama tertinggal dibanding badan peradilan umum. Sekarang hal itu su­dah tidak ada lagi karena kesederajatan telah benar-benar direalisasikan, termasuk gaji, tunjangan, bangunan gedung dan fasilitas lainnya.
Berkaitan dengan empat kali perubahan UUD 1945, maka undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, yang me­masukkan kembali apa yang telah ditentukan dalam UUD pasca perubahan dan tambahan ketentuan lainnya, antara lain :
Pasal 6A
Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 6B
(1)  Calon hakim agung berasal dari hakim karier.
(2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari non karier.
Pasal 11
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung dan hakim agung diber­hentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:
a.   meninggal dunia
b.   telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun
c.   atas permintaan sendiri secara tertulis
d.   sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan bertu­rut- turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan
e.   ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, terdapat dua lembaga negara baru bentukan pasca perubahan UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Berkaitan dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, dimana Pasal 236C menentukan bahwa penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan se­jak undang-undang tersebut diundangkan, maka Mahkamah Agung, dengan Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial No. 34/WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah seperti itu kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1 Nopember 2008.
Mahkamah Agung juga melakukan langkah-langkah pembaruan yang telah berjalan sejak tahun 2002, meliputi :
1. Mediasi
Untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk memberi­kan akses yang lebih besar bagi para perncari keadilan dalam menemukan penyelesaian perkaranya secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, Mahkamah Agung telah mengintegrasikan proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang dimaksudkan menjadi instrument efektif men­gatasi penumpukan perkara.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang telah dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Class Action
Class action adalah gugatan perwakilan kelompok sebagai akibat dari peris­tiwa atau kegiatan yang menimbulkan pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian secara sekaligus, serentak dan massal terhadap orang banyak, yang karena itu berdasarkan fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama, diajukan dalam satu perkara.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tanggal 26 April 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
3. Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga
Sejak tahun 2003, wewenang pengadilan niaga diperluas dengan memasuk­kan sengketa mengenai hak atas kekayaan intelektual (HaKI) sebagai kewenan­gan pengadilan niaga.
4. Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli
Perkara sengketa persaingan tidak sehat dan anti monopoli sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Keberatan terhadap putusan KPPU tersebut diajukan ke pengadilan negeri dan terhadap pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 03 Tahun 2005 tanggal 18 juli 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap putusan KPPU.
5. Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan khusus tindak pidana korupsi untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan wilayah hukum seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasca Perubahan UUD 1945, maka UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga harus disesuaikan dan berubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15 Januari 2004. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 jabatan Panitera dan Sekretaris (dahulu Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat secara terpisah oleh dua orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu orang, ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non Yudisial.
Setelah terbentuknya Komisi Yudisial berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004, maka calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR dan dari nama-nama yang terpilih tersebut oleh DPR diajukan kepada Presiden untuk diang­kat sebagai Hakim Agung. Dalam musyawarah putusan juga dikenal “dissenting opinion” yaitu pendapat yang berbeda dari Hakim Agung lainnya dan pendapat tersebut harus dimuat dalam putusan.
Sekarang, dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 seperti tersebut diatas tetap berlaku, dengan tambahan ketentuan baru mengenai usia pensiun Hakim Agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun.
Perubahan Ketiga UUD 1945 juga melahirkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, komisi bertugas :
- melakukan pendaftaran calon hakim agung;
- melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
- menetapkan calon hakim agung, dan;
- mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Selain itu, Komisi Yudisial mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Putusan pengadilan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mewajibkan hakim untuk menegakkan keadilan yang diper­tanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketakwaan terhadap Tuhan menjadi landasan prinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kode etik hakim Indonesia telah disempurnakan kembali dalam Munas IKAHI XIII tahun 2000 di Bandung dan ditindak-lanjuti dalam Rapat kerja Mahkamah Agung RI 2002 di Surabaya yang melahirkan rumusan 10 prinsip Pedoman Perilaku Hakim (PPH) yaitu berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan professional. Rumusan pedoman perilaku hakim tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006.9
PPH tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial karena sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2009 ditentukan bahwa kode etik dan pedoman perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mah­kamah Agung. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/IV/2009-No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009, telah berhasil menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Tamu

Recent Comments Widget