Social Icons

Kamis, 03 April 2014

Teknik Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Tulisan ini diturunkan setelah beberapa waktu lalu Pusdiklat Teknis Peradilan Mahkamah Agung R.I menyelenggarakan Rapat Penyusunan Kurikulum dan Silabus. Hasil rapat tersebut ternyata masih menyisakan beberapa point bahasan yang perlu dikaji lebih dalam, terutama aspek aplikasi penyusunan kurikulum yang belum sepenuhnya disampaikan oleh Narasumber.
Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih rinci dan jelas bagaimana sistematika atau format suatu Kurikulum seharusnya dibuat.
Pengertian Kurikulum
Secara etimologi, istilah kurikulum (curriculum), yang pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga, berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu). Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah. Dari pengertian tersebut, dalam kurikulum terkandung dua hal pokok, yaitu: (1) adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2) tujuan utamanya yaitu untuk memperoleh ijazah. Dengan demikian, implikasi terhadap praktik pengajaran yaitu setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan dan menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan. Keberhasilan siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasainya dan biasanya disimbolkan dengan skor yang diperoleh setelah mengikuti suatu tes atau ujian.

Dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung R.I No.140 /KMA/SK/X/2008 tentang Buku Panduan Mengenai Pengelolaan dan Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (15), menyebutkan Kurikulum adalah kumpulan mata-mata pelajaran/subyek pengajaran dari suatu program diklat terkait.
Pengertian kurikulum seperti disebutkan di atas dianggap pengertian yang sempit atau sangat sederhana. Jika kita mempelajari buku-buku atau literature lainnya tentang kurikulum, terutama yang berkembang di negara-negara maju, maka akan ditemukan banyak pengertian yang lebih luas dan beragam. Kurikulum itu tidak terbatas hanya pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman belajar (learning experiences) yang dialami siswa dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Bahkan Harold B. Alberty (1965) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the students by the school).
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum tidak dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja, tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar kelas. Pendapat yang senada dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor, Alexander, dan Lewis (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian kurikulum kian meluas dan secara teoretis agak sulit menentukan satu pengertian yang dapat merangkum semua pendapat para ahli. Namum demikian, substansi istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, satu dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu:
(1) kurikulum sebagai suatu ide/gagasan;
(2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenamya merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide;
(3) kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering pula disebut dengan istilah kurikulum sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoretis dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dan
(4) kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Competency Base Training (CBT) atau Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pendekatan pelatihan yang menekankan pada pengetahuan, ketrampilan serta sikap professional yang dapat ditunjukkan seseorang di tempat kerja sesuai dengan standar lembaga sebagai hasil dari training.
Dalam KBK terdapat 5 aspek dimensi komptensi antara lain :
1.       Task skills : mampu melakukan tugas per tugas.
2.       Task management skills : mampu mengelola beberapa tugas yang berbeda dalam pekerjaan
3.       Contingency management skills: tanggap terhadap adanya kelainan dan kerusakan pada rutinitas kerja.
4.       Environment skills/job role : mampu menghadapi tanggung jawab dan harapan dari lingkungan kerja/ Beradaptasi dengan lingkungan.
5.       Transfer skills : Mampu mentransfer kompetensi yang dimiliki dalam setiap situasi yang berbeda (situasi yang baru/ tempat dilandasi SQ dan EQ yang kuat berarti kemampuan untuk membangun komunikasi yang santun, sikap melayani yang tulus, dan kesadaran untuk bekerja dalam satu tim yang dilandasi oleh kejujuran dan kepentingan bersama.
Ciri Kurikulum Pelatihan Berbasis Kompetensi :
1.       Berpusat pada trainee.
2.       Mengembangkan kreativitas.
3.       Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang.
4.       Kontekstual.
5.       Menyediakan pengalaman pelatihan yang beragam.
6.       Belajar melalui berbuat (Learning by doing).

Sementara pembahasan Teknik Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi akan dilanjutkan pada posting berikutnya.
(Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Tamu

Recent Comments Widget