Social Icons

Selasa, 13 Mei 2014

Kaitan Komputer Forensik terhadap Kejahatan Komputer

Di masa informasi bebas seperti sekarang ini, terjadi kecenderungan peningkatan kerugian finansial dari pihak pemilik komputer karena kejahatan komputer. Kejahatan komputer dibagi menjadi dua, yaitu computer fraud dan computer crime. Computer fraud meliputi kejahatan/pelanggaran dari segi sistem organisasi komputer. Sedang computer crime merupakan kegiatan berbahaya di mana menggunakan media komputer dalam melakukan pelanggaran hukum. Untuk menginvestigasi dan menganalisa kedua kejahatan di atas, maka digunakan sistem forensik dalam teknologi informasi.
a.  The Council of Europe (CE) membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis. Cyber Crime dalam konvensi Palermo tentang kejahatan trans nasional merupakan bagian dari bentuk kejahatan trans nasional. Sehingga bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia harus mematuhi konsesni ini guna menjamin hubungan yang lebih baik dengan bangsa-bangsa di dunia.

b.   Isi Konsensi Palermo kaitannya tentang Hukum Internasional mengenai Cyber Crime.
Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1 bertujuan :
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin merebaknya kejahatan trans nasional antara lain cyber crime yang sudah merambah ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4 tahun atau lebih” .
Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyak sekali kejahatan transnasional maka yang disebut dengan hasil kejahatan adalah harta yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui bentuk pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki atau mengambil barang orang lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum.
Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1 berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah Konsensi Palermo, berupa UU No. 11 Tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional dalam kerjasama internasional.
Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.” Bentuk kerjasama dapat berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam pasal 34 ayat ;
1)  Setiap negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk legislatif dan tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah hukum domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2)      Pelanggaran yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini harus dibentuk dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup wilayah transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3)  Setiap negara harus mengadobsi konvensi ini. Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah hukum yang mengatur dalam mengatasi kejathatan transnasional dalam hal ini cyber crime.
Konvensi Cyber Crime Budapest, 23.XI.2001 isinya merupakan kerjasama dengan negara lain pihak untuk Konvensi Cyber Crime. Diyakinkan akan kebutuhan yang, seperti soal prioritas, pidana umum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap cybercrime, antara lain mengadopsi undang-undang yang sesuai dan mendorong kerjasama internasional. Sadar akan perubahan besar yang dibawa oleh digitalisation, konvergensi dan terus globalisasi komputer jaringan. Keprihatin dengan resiko bahwa komputer dan jaringan informasi elektronik dapat juga digunakan untuk melakukan pelanggaran pidana dan bukti-bukti yang berkaitan dengan pelanggaran seperti itu dapat disimpan dan dipindahkan oleh jaringan ini.
Mengakui perlunya kerjasama antara negara dan industri swasta dalam memerangi cybercrime dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi. Percaya bahwa kebutuhan yang efektif memerangi cybercrime meningkat, cepat dan berfungsi dengan baik kerjasama internasional dalam masalah pidana.
Seiring munculnya dan berkembangnya Teknologi Informasi dan mulai adanya kejahatan yang menggunakan Teknologi Informasi terjadi pula perkembangan perangkat hukum, khususnya yang mengatur perilaku penggunaan dan pemidaan bagi pelaku kejahatan di bindang Teknologi Informasi. Pada tahap pertama masyarakat menggunakan soft law dalam bentuk kode etik atau kode perilaku (code of coduct). Misalnya di Jepang (1996) dan di Singapura dalam bentuk Internet Code of Conduct. Namun demikian upaya semacam ini masih dipandang belum mencukupi terbukti dengan makin luasnya penyalah-gunaan TI dan Internet, sehingga kemudian dibuatlah hukum administratif yang bersifat semi hard law berupa code of practice seperti yang dirumuskan oleh the Australian Internet Industry Association, 1999. Code of conduct, kode etik, dan code or practice tergolong kebijakan kriminal yang menggunakan sarana non-penal (prevention without punishment).
Ketika kejahatan Teknologi Informasi sudah semakin canggih dan korbannya sudah makin banyak serta melibatkan kejahatan transnasional, sarana penegakan hukum yang dilakukan adalah dengan melakukan kriminalisasi berupa penerapan hard law berupa Undang – Undang, sebagaimana dilakukan oleh Singapura dengan membuat Computer Misuse Act (1993), dan Malaysia dalam bentuk Computer Crimes Act (1997).
Barda Nawawi Arief, dalam Mardjono (2002), mengusulkan agar dalam hal kriminalisasi, dibedakan antara (a) harmonisasi materi/substansi dan (b) harmonisasi kebijakan formulasi. Yang pertama adalah tentang apa yang akan dinamakan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi, dan yang kedua apakah pengaturan hukuman pidana bagi kejahatan Teknologi Informasi tersebut akan berada di dalam atau di luar KUH Pidana.
Forensik Komputer
Forensik komputer adalah suatu proses mengidentifikasi, memelihara, menganalisa, dan mempergunakan bukti digital menurut hukum yang berlaku. Forensik komputer yang kemudian meluas menjadi forensik teknologi informasi masih jarang digunakan oleh pihak berwajib, terutama pihak berwajib di Indonesia.
Tingkat kesulitan dalam Forensik compute terletak pada bukti yang digunakan bersifat digital. Bukti digital (Digital Evidence) adalah informasi yang didapat dalam bentuk/format digital. Bukti digital ini bisa berupa bukti yang riil maupun abstrak (perlu diolah terlebih dahulu sebelum menjadi bukti yang nyata). Beberapa contoh bukti digital antara lain :
a.      E-mail, alamat e-mail
b.      Wordprocessor/spreadsheet files
c.       Source code dari perangkat lunak
d.      Files berbentuk image (.jpeg, .gif, dan sebagainya)
e.      Web browser bookmarks, cookies
f.        Kalender, to-do list
Terdapat empat elemen kunci forensik dalam teknologi informasi adalah sebagai berikut :
1.   Identifikasi dari Bukti Digital (Digital Evidence)
Merupakan tahapan paling awal forensik dalam teknologi informasi. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi di mana bukti itu berada, di mana bukti itu disimpan, dan bagaimana penyimpanannya untuk mempermudah tahapan selanjutnya. Banyak pihak yang mempercayai bahwa forensik di bidang teknologi informasi itu merupakan forensik pada komputer. Sebenarnya forensik bidang teknologi informasi sangat luas, bisa pada telepon seluler, kamera digital, smart cards, dan sebagainya. Memang banyak kasus kejahatan di bidang teknologi informasi itu berbasiskan komputer. Tetapi perlu diingat, bahwa teknologi informasi tidak hanya komputer/internet.
2.   Penyimpanan Bukti Digital (Digital Evidence)  
Termasuk tahapan yang paling kritis dalam forensik. Pada tahapan ini, bukti digital dapat saja hilang karena penyimpanannya yang kurang baik. Penyimpanan ini lebih menekankan bahwa bukti digital pada saat ditemukan akan tetap tidak berubah baik bentuk, isi, makna, dan sebagainya dalam jangka waktu yang lama. Ini adalah konsep ideal dari penyimpanan bukti digital.
3.   Analisa Bukti Digital (Digital Evidence)
Pengambilan, pemrosesan, dan interpretasi dari bukti digital merupakan bagian penting dalam analisa bukti digital. Setelah diambil dari tempat asalnya, bukti tersebut harus diproses sebelum diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan. Tentunya pemrosesan di sini memerlukan beberapa skema tergantung dari masing-masing kasus yang dihadapi.
4.   Presentasi Bukti Digital (Digital Evidence)
Adalah proses persidangan di mana bukti digital akan diuji otentifikasi dan korelasi dengan kasus yang ada. Presentasi di sini berupa penunjukan bukti digital yang berhubungan dengan kasus yang disidangkan. Karena proses penyidikan sampai dengan proses persidangan memakan waktu yang cukup lama, maka sedapat mungkin bukti digital masih asli dan sama pada saat diidentifikasi oleh investigator untuk pertama kalinya.
(Diolah dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Tamu

Recent Comments Widget