Di masa
informasi bebas seperti sekarang ini, terjadi kecenderungan peningkatan
kerugian finansial dari pihak pemilik komputer karena kejahatan komputer.
Kejahatan komputer dibagi menjadi dua, yaitu computer fraud dan computer
crime. Computer fraud meliputi
kejahatan/pelanggaran dari segi sistem organisasi komputer. Sedang computer crime merupakan kegiatan berbahaya
di mana menggunakan media komputer dalam melakukan pelanggaran hukum. Untuk
menginvestigasi dan menganalisa kedua kejahatan di atas, maka digunakan sistem
forensik dalam teknologi informasi.
a. The
Council of Europe (CE)
membentuk Committee of Experts on Crime
ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25
April 2000 telah mempublikasikan draft
Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan
Brenner dari University of Daytona School
of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum
pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan
erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai
penyalahgunaan sejenis. Cyber Crime
dalam konvensi Palermo tentang kejahatan trans nasional merupakan bagian dari
bentuk kejahatan trans nasional. Sehingga bangsa-bangsa atau negara-negara di
dunia harus mematuhi konsesni ini guna menjamin hubungan yang lebih baik dengan
bangsa-bangsa di dunia.
Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1
bertujuan :
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk
meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan
transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin
merebaknya kejahatan trans nasional antara lain cyber crime yang sudah merambah
ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan
bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4
tahun atau lebih” .
Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan
transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyak sekali kejahatan transnasional maka yang
disebut dengan hasil kejahatan adalah harta yang diperoleh secara langsung atau
tidak langsung melalui bentuk pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki
atau mengambil barang orang lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum.
Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h
adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu
pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1
berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu
menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat
hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber
Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah Konsensi Palermo,
berupa UU No. 11 Tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin
terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional
dalam kerjasama internasional.
Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak
Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah
tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan
efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup
dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.”
Bentuk kerjasama dapat berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap
informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam
pasal 34 ayat ;
1) Setiap
negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk legislatif dan
tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah hukum
domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2)
Pelanggaran
yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini harus dibentuk
dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup wilayah
transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3) Setiap
negara harus mengadobsi konvensi ini. Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah
hukum yang mengatur dalam mengatasi kejathatan transnasional dalam hal ini
cyber crime.
Konvensi Cyber Crime Budapest, 23.XI.2001 isinya
merupakan kerjasama dengan negara lain pihak untuk Konvensi Cyber Crime. Diyakinkan akan kebutuhan
yang, seperti soal prioritas, pidana umum yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat terhadap cybercrime,
antara lain mengadopsi undang-undang yang sesuai dan mendorong kerjasama
internasional. Sadar akan perubahan besar yang dibawa oleh digitalisation,
konvergensi dan terus globalisasi komputer jaringan. Keprihatin dengan resiko
bahwa komputer dan jaringan informasi elektronik dapat juga digunakan untuk
melakukan pelanggaran pidana dan bukti-bukti yang berkaitan dengan pelanggaran
seperti itu dapat disimpan dan dipindahkan oleh jaringan ini.
Mengakui
perlunya kerjasama antara negara dan industri swasta dalam memerangi cybercrime
dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan sah dalam penggunaan dan
pengembangan teknologi informasi. Percaya bahwa kebutuhan yang efektif
memerangi cybercrime meningkat, cepat dan berfungsi dengan baik kerjasama
internasional dalam masalah pidana.
Seiring
munculnya dan berkembangnya Teknologi Informasi dan mulai adanya kejahatan yang
menggunakan Teknologi Informasi terjadi pula perkembangan perangkat hukum,
khususnya yang mengatur perilaku penggunaan dan pemidaan bagi pelaku kejahatan
di bindang Teknologi Informasi. Pada tahap pertama masyarakat menggunakan soft
law dalam bentuk kode etik atau kode perilaku (code of coduct). Misalnya di Jepang (1996) dan di Singapura dalam
bentuk Internet Code of Conduct.
Namun demikian upaya semacam ini masih dipandang belum mencukupi terbukti
dengan makin luasnya penyalah-gunaan TI dan Internet, sehingga kemudian dibuatlah
hukum administratif yang bersifat semi hard law berupa code of practice seperti yang dirumuskan oleh the Australian Internet Industry Association, 1999. Code of conduct, kode etik, dan code or practice tergolong kebijakan
kriminal yang menggunakan sarana non-penal (prevention
without punishment).
Ketika
kejahatan Teknologi Informasi sudah semakin canggih dan korbannya sudah makin
banyak serta melibatkan kejahatan transnasional, sarana penegakan hukum yang
dilakukan adalah dengan melakukan kriminalisasi berupa penerapan hard law berupa Undang – Undang,
sebagaimana dilakukan oleh Singapura dengan membuat Computer Misuse Act (1993), dan Malaysia dalam bentuk Computer Crimes Act (1997).
Barda Nawawi
Arief, dalam Mardjono (2002), mengusulkan agar dalam hal kriminalisasi,
dibedakan antara (a) harmonisasi materi/substansi dan (b) harmonisasi kebijakan
formulasi. Yang pertama adalah tentang apa yang akan dinamakan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi, dan yang kedua apakah pengaturan hukuman pidana bagi
kejahatan Teknologi Informasi tersebut akan berada di dalam atau di luar KUH
Pidana.
Forensik Komputer
Forensik
komputer adalah suatu proses mengidentifikasi, memelihara, menganalisa, dan
mempergunakan bukti digital menurut hukum yang berlaku. Forensik komputer yang
kemudian meluas menjadi forensik teknologi informasi masih jarang digunakan
oleh pihak berwajib, terutama pihak berwajib di Indonesia.
Tingkat
kesulitan dalam Forensik compute
terletak pada bukti yang digunakan bersifat digital. Bukti digital (Digital Evidence) adalah informasi yang
didapat dalam bentuk/format digital. Bukti digital ini bisa berupa bukti yang
riil maupun abstrak (perlu diolah terlebih dahulu sebelum menjadi bukti yang
nyata). Beberapa contoh bukti digital antara lain :
a. E-mail, alamat e-mail
b. Wordprocessor/spreadsheet
files
c. Source
code dari perangkat lunak
d. Files berbentuk image (.jpeg, .gif, dan sebagainya)
e.
Web browser bookmarks, cookies
f.
Kalender, to-do list
Terdapat
empat elemen kunci forensik dalam teknologi informasi adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi dari Bukti Digital (Digital Evidence)
Merupakan tahapan paling awal forensik dalam
teknologi informasi. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi di mana bukti itu
berada, di mana bukti itu disimpan, dan bagaimana penyimpanannya untuk
mempermudah tahapan selanjutnya. Banyak pihak yang mempercayai bahwa forensik
di bidang teknologi informasi itu merupakan forensik pada komputer. Sebenarnya
forensik bidang teknologi informasi sangat luas, bisa pada telepon
seluler, kamera digital, smart cards, dan sebagainya. Memang banyak kasus
kejahatan di bidang teknologi informasi itu berbasiskan komputer. Tetapi perlu
diingat, bahwa teknologi informasi tidak hanya komputer/internet.
2. Penyimpanan
Bukti Digital (Digital Evidence)
Termasuk
tahapan yang paling kritis dalam forensik. Pada tahapan ini, bukti digital
dapat saja hilang karena penyimpanannya yang kurang baik. Penyimpanan ini lebih
menekankan bahwa bukti digital pada saat ditemukan akan tetap tidak berubah
baik bentuk, isi, makna, dan sebagainya dalam jangka waktu yang lama. Ini
adalah konsep ideal dari penyimpanan bukti digital.
3. Analisa
Bukti Digital (Digital Evidence)
Pengambilan,
pemrosesan, dan interpretasi dari bukti digital merupakan bagian penting dalam
analisa bukti digital. Setelah diambil dari tempat asalnya, bukti tersebut harus
diproses sebelum diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan. Tentunya
pemrosesan di sini memerlukan beberapa skema tergantung dari masing-masing
kasus yang dihadapi.
4. Presentasi
Bukti Digital (Digital Evidence)
Adalah
proses persidangan di mana bukti digital akan diuji otentifikasi dan korelasi
dengan kasus yang ada. Presentasi di sini berupa penunjukan bukti digital yang
berhubungan dengan kasus yang disidangkan. Karena proses penyidikan sampai
dengan proses persidangan memakan waktu yang cukup lama, maka sedapat mungkin
bukti digital masih asli dan sama pada saat diidentifikasi oleh investigator
untuk pertama kalinya.
(Diolah dari berbagai
sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar