Dalam acara Lokakarya Penanganan Tindak Pidana Pemilu Bagi Hakim Untuk
Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 yang diselenggarakan MA dan Kemitraan
di Jakarta, Kamis (27/3), Ketua Kamar
Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Widayatno Sastro Hardjono, mengatakan secara umum
delik pidana dalam hukum Pemilu berbeda dengan hukum acara pidana (KUHAP).
Sebab, masih terdapat potensi masalah pada penegakan hukum atas tindak pidana
Pemilu yaitu berkaitan dengan adanya masa daluarsa, sifat hukuman kumulatif dan
tidak adanya hukuman minimal. Oleh karenanya, ia memandang hakim, terutama yang
khusus menangani tindak pidana Pemilu sebagai ujung tombak penanganan perkara
pidana Pemilu.
Widayatno menekankan para hakim harus
diperkuat dengan materi terkait pidana
Pemilu dan peraturan perundang-undangan terbaru. Sehingga tidak terjadi
inkonsistensi putusan perkara Pemilu seperti menangani kasus serupa, tapi
putusannya berbeda. Untuk itu, MA merasa perlu memberikan informasi terkait kepada
hakim khusus tindak pidana Pemilu. “MA juga telah mengeluarkan Peraturan MA
No.2 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilu,” urainya.
Senior Advisor Kemitraan, Laode Syarif, mengatakan hakim harus punya pemahaman yang tepat terhadap tindak pidana Pemilu. Apalagi dalam UU Pemilu terdapat puluhan pasal yang memuat ketentuan pidana. Oleh karenanya, para hakim harus ekstra hati-hati dalam memberikan putuskan atas perkara pidana Pemilu. Sebab, jika salah memahami tindak pidana Pemilu dan berdampak pada putusan yang dihasilkan maka berpotensi besar menimbulkan keributan di masyarakat. “Parpol itu punya massa yang banyak, jadi hakim harus sangat hati-hati memutus perkara pidana Pemilu,” tuturnya.
Pengamat dan Praktisi Pemilu, Ramlan
Surbakti menekankan ada tujuh parameter yang perlu diperhatikan hakim dalam
melihat penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas. Terwujudnya hal itu
tak lepas dari peran hakim yang memutus perkara yang berkaitan dengan Pemilu.
Pertama, Ramlan melanjutkan,
kesetaraan warga negara. Misalnya, apakah semua warga negara yang punya hak
pilih sudah terdaftar secara akurat di daftar pemilih tetap (DPT). Kemudian,
pembagian kursi di DPR untuk setiap daerah sudah memenuhi kesetaraan
keterwakilan atau belum. UU Pemilu dinilai hanya memuat tindak pidana yang
berkaitan dengan hak pilih, tapi belum menyentuh pada kesetaraan. Seperti pasal
281 UU Pemilu memberikan sanksi pidana kepada majikan/atasan yang tidak
memberikan kesempatan kepada pekerjanya untuk memberikan suara pada hari
pemungutan suara.
Kedua, untuk mewujudkan pemilu yang
adil dan berintegritas menurut Ramlan membutuhkan rule of law dan
kepastian hukum. Apalagi sistem Pemilu 2014 membuka peluang antar calon
legislatif (caleg) yang berasal dari partai politik (parpol) dan daerah
pemilihan (dapil) yang sama untuk saling berkompetisi. Guna menjaga kompetisi
agar berjalan adil maka perlu diatur.
Ketiga, parameter yang perlu dilihat
hakim untuk menilai penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas yaitu
persaingan yang bebas dan adil antar peserta Pemilu. Misalnya, apakah
persaingan untuk memperoleh suara dari pemilih itu menggunakan kampanye yang
menyalahi aturan atau tidak. Seperti ada intimidasi dan kekerasan kepada
pemilih. Kemudian merusak alat peraga peserta lainnya dan melakukan politik
uang.
Lalu, ada peserta Pemilu incumbent
yang menggunakan fasilitas negara. Bagi Ramlan hal itu termasuk dalam
persaingan yang tidak adil. Sebab, peserta Pemilu yang bukan incumbent sangat
kecil berpeluang menggunakan fasilitas negara untuk kampanye. Begitu pula
dengan kampanye hitam, seperti menggunakan isu SARA, atau menjelek-jelekan
peserta lainnya tanpa fakta.
Menurut Ramlan berbagai hal tersebut
masuk dalam tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. “Jika
terbukti di pengadilan maka sanksinya penjara dan denda serta didiskualifikasi
oleh KPU,” paparnya.
Parameter keempat, dikatakan Ramlan, penyelenggara Pemilu yang independen dan profesional. Dalam UU Pemilu, ada empat ketentuan yang mengatur sanksi bagi penyelenggara Pemilu. Salah satunya pasal 319 UU Pemilu yang menjelaskan sanksi bagi anggota KPU jika tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud pasal 205 ayat (2).
Parameter keempat, dikatakan Ramlan, penyelenggara Pemilu yang independen dan profesional. Dalam UU Pemilu, ada empat ketentuan yang mengatur sanksi bagi penyelenggara Pemilu. Salah satunya pasal 319 UU Pemilu yang menjelaskan sanksi bagi anggota KPU jika tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud pasal 205 ayat (2).
Kelima, partisipasi semua pemangku
kepentingan dalam proses penyelenggaraan pemilu menurut Ramlan termasuk dalam
parameter untuk melihat apakah pemilu diselenggarakan secara adil dan
berintegritas. Namun, secara umum dalam UU Pemilu, ia menilai ada kekosongan hukum
terkait parameter tersebut. Misalnya, tindakan yang menghalang-halangi
partisipasi Pemilu tidak dianggap sebagai pidana.
Ramlan mengatakan yang dilihat sebagai
pidana Pemilu adalah partisipasi warga negara yang dinilai menyimpang. Seperti
menyebarluaskan hasil survei Pemilu pada masa tenang. Atau hasil hitung cepat
diumumkan kurang dari dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah barat
Indonesia dan tidak diumumkan sebagai prediksi hasil Pemilu.
Keenam, parameter tentang integritas
proses pemungutan dan pengitungan suara serta rekapitulasi hasil penghitungan
suara. Jika hal itu dilakukan sesuai ketentuan dalam UU Pemilu maka Pemilu yang
digelar dapat disebut berintegritas. Tindak pidana Pemilu dalam parameter itu
misalnya ada orang yang melakukan pemungutan suara lebih dari sekali dengan
cara mengatasnamakan orang lain.
Ketujuh, proses penyelesaian sengketa
Pemilu secara adil dan tepat menjadi parameter terakhir untuk melihat
penyelenggaraan Pemilu yang adil serta berintegritas. Menurut Ramlan, hal ini
berkaitan dengan putusan para hakim terhadap sengketa Pemilu agar adil dan
tepat waktu. Walau begitu ia yakin hal itu tidak mudah dilakukan karena ada
batas waktu untuk menyelesaikan sengketa Pemilu. Sehingga hakim dituntut
memberi putusan yang adil dan tepat waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar