Social Icons

Sabtu, 17 Mei 2014

Urgensinya Hakim Dalami Materi Tindak Pidana Pemilu

Dalam acara Lokakarya Penanganan Tindak Pidana Pemilu Bagi Hakim Untuk Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 yang diselenggarakan MA dan Kemitraan di Jakarta, Kamis (27/3),  Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Widayatno Sastro Hardjono, mengatakan secara umum delik pidana dalam hukum Pemilu berbeda dengan hukum acara pidana (KUHAP). Sebab, masih terdapat potensi masalah pada penegakan hukum atas tindak pidana Pemilu yaitu berkaitan dengan adanya masa daluarsa, sifat hukuman kumulatif dan tidak adanya hukuman minimal. Oleh karenanya, ia memandang hakim, terutama yang khusus menangani tindak pidana Pemilu sebagai ujung tombak penanganan perkara pidana Pemilu.
Widayatno menekankan para hakim harus diperkuat dengan materi terkait pidana Pemilu dan peraturan perundang-undangan terbaru. Sehingga tidak terjadi inkonsistensi putusan perkara Pemilu seperti menangani kasus serupa, tapi putusannya berbeda. Untuk itu, MA merasa perlu memberikan informasi terkait kepada hakim khusus tindak pidana Pemilu. “MA juga telah mengeluarkan Peraturan MA No.2 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilu,” urainya.

Senior Advisor Kemitraan, Laode Syarif, mengatakan hakim harus punya pemahaman yang tepat terhadap tindak pidana Pemilu. Apalagi dalam UU Pemilu terdapat puluhan pasal yang memuat ketentuan pidana. Oleh karenanya, para hakim harus ekstra hati-hati dalam memberikan  putuskan atas perkara pidana Pemilu. Sebab, jika salah memahami tindak pidana Pemilu dan berdampak pada putusan yang dihasilkan maka berpotensi besar menimbulkan keributan di masyarakat. “Parpol itu punya massa yang banyak, jadi hakim harus sangat hati-hati memutus perkara pidana Pemilu,” tuturnya.
Pengamat dan Praktisi Pemilu, Ramlan Surbakti menekankan ada tujuh parameter yang perlu diperhatikan hakim dalam melihat penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas. Terwujudnya hal itu tak lepas dari peran hakim yang memutus perkara yang berkaitan dengan Pemilu.
Pertama, Ramlan melanjutkan, kesetaraan warga negara. Misalnya, apakah semua warga negara yang punya hak pilih sudah terdaftar secara akurat di daftar pemilih tetap (DPT). Kemudian, pembagian kursi di DPR untuk setiap daerah sudah memenuhi kesetaraan keterwakilan atau belum. UU Pemilu dinilai hanya memuat tindak pidana yang berkaitan dengan hak pilih, tapi belum menyentuh pada kesetaraan. Seperti pasal 281 UU Pemilu memberikan sanksi pidana kepada majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada pekerjanya untuk memberikan suara pada hari pemungutan suara.
Kedua, untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas menurut Ramlan membutuhkan rule of law dan kepastian hukum. Apalagi sistem Pemilu 2014 membuka peluang antar calon legislatif (caleg) yang berasal dari partai politik (parpol) dan daerah pemilihan (dapil) yang sama untuk saling berkompetisi. Guna menjaga kompetisi agar berjalan adil maka perlu diatur.
Ketiga, parameter yang perlu dilihat hakim untuk menilai penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas yaitu persaingan yang bebas dan adil antar peserta Pemilu. Misalnya, apakah persaingan untuk memperoleh suara dari pemilih itu menggunakan kampanye yang menyalahi aturan atau tidak. Seperti ada intimidasi dan kekerasan kepada pemilih. Kemudian merusak alat peraga peserta lainnya dan melakukan politik uang.
Lalu, ada peserta Pemilu incumbent yang menggunakan fasilitas negara. Bagi Ramlan hal itu termasuk dalam persaingan yang tidak adil. Sebab, peserta Pemilu yang bukan incumbent sangat kecil berpeluang menggunakan fasilitas negara untuk kampanye. Begitu pula dengan kampanye hitam, seperti menggunakan isu SARA, atau menjelek-jelekan peserta lainnya tanpa fakta.
Menurut Ramlan berbagai hal tersebut masuk dalam tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. “Jika terbukti di pengadilan maka sanksinya penjara dan denda serta didiskualifikasi oleh KPU,” paparnya.
Parameter keempat, dikatakan Ramlan, penyelenggara Pemilu yang independen dan profesional. Dalam UU Pemilu, ada empat ketentuan yang mengatur sanksi bagi penyelenggara Pemilu. Salah satunya pasal 319 UU Pemilu yang menjelaskan sanksi bagi anggota KPU jika tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud pasal 205 ayat (2).
Kelima, partisipasi semua pemangku kepentingan dalam proses penyelenggaraan pemilu menurut Ramlan termasuk dalam parameter untuk melihat apakah pemilu diselenggarakan secara adil dan berintegritas. Namun, secara umum dalam UU Pemilu, ia menilai ada kekosongan hukum terkait parameter tersebut. Misalnya, tindakan yang menghalang-halangi partisipasi Pemilu tidak dianggap sebagai pidana.
Ramlan mengatakan yang dilihat sebagai pidana Pemilu adalah partisipasi warga negara yang dinilai menyimpang. Seperti menyebarluaskan hasil survei Pemilu pada masa tenang. Atau hasil hitung cepat diumumkan kurang dari dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah barat Indonesia dan tidak diumumkan sebagai prediksi hasil Pemilu.
Keenam, parameter tentang integritas proses pemungutan dan pengitungan suara serta rekapitulasi hasil penghitungan suara. Jika hal itu dilakukan sesuai ketentuan dalam UU Pemilu maka Pemilu yang digelar dapat disebut berintegritas. Tindak pidana Pemilu dalam parameter itu misalnya ada orang yang melakukan pemungutan suara lebih dari sekali dengan cara mengatasnamakan orang lain.
Ketujuh, proses penyelesaian sengketa Pemilu secara adil dan tepat menjadi parameter terakhir untuk melihat penyelenggaraan Pemilu yang adil serta berintegritas. Menurut Ramlan, hal ini berkaitan dengan putusan para hakim terhadap sengketa Pemilu agar adil dan tepat waktu. Walau begitu ia yakin hal itu tidak mudah dilakukan karena ada batas waktu untuk menyelesaikan sengketa Pemilu. Sehingga hakim dituntut memberi putusan yang adil dan tepat waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Komentar Tamu

Recent Comments Widget