Perjalanan kehidupan pengadilan agama
mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya
sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada
kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan
dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa
dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi
pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik
hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah
mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di
Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Dengan masuknya penguasa kerajaan
Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama
Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir
secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat
diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan
penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya
komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan
yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak
jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam
tersebut yakni: DaIam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu
wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada
seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada
seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat
berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan
mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana,
seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir
(kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat). Bila
tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat
dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas
menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan
wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang
ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan
mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga
bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari
periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi
Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam,
tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang
ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur
tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah
yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena
penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas
hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di
daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het
inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula
adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah
periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa),
yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh
para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam
diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan
setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung
di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan
Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di
seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan
atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau
isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat
dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama
mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan
agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai
penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada
masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk
peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun
kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam,
sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha
tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi
sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di
bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga
landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama
dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan).
Pengadilan Agama tidak berwenang untuk
menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang
seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 ten tang Perkawinan. Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk
Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah
susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut
dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta
pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada
sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan
agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti
masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka
(Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan
bermasyarakat, hukum Is¬lam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan
kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh
Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan
Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan
Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai
Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam
KementrianAgama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi
lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk
mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia
di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3). Usaha
untukmenghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan
keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951 tentangTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung
ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati
peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya
diatur dengan peraturan pemerintah.
Proses keluarnya peraturan pemerintah
inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan
tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar
Zarkasyi : 33 - 37). Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan
Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang ini
menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan
dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
Kedua, Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara; Ketiga,
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan
yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial
ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan
kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam
undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang
kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan
peradilan-peradilan lainnya di Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam
undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam
(Hukum Islam).
Suasana cerah kembali mewarnai
perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor
7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk
mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta
mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu
dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat
sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan
peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan
Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton
yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam,
berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan
Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada
tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam
penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH.
Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H.
Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan
Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu
T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda,
Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan
tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan
kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama. Dati
uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan
pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan
pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat
sebagai berikut : Kelembagaan Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan
peradilan yang lain - yang secara nyata - didukung dengan sarana dan prasarana
serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Materi Hukum
Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam
ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam,
yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai
shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan hukum formil
peradilan agama perlu dikembangkan. Personil Dalam melaksanakan tugas
kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak
memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah
keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta
punya integritas sebagai seorang muslim.
(Diolah dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar