Gedung Mahkamah Agung R.I |
Mahkamah Agung Pasca UU No.14 Tahun
1970
Perkembangan
selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang; “Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10
ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi
dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi
putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang
meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1.
Peradilan Umum;
2.
Peradilan Agama;
3.
Peradilan Militer;
4.
Peadilan Tata Usaha Negara.
Bahkan
Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua
lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai
Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan
tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak
Hooggerechtshof, sebagai berikut:
1.
Fungsi Paradilan;
2.
Fungsi Pengawasan;
3.
Fungsi Pengaturan;
4.
Fungsi Memberi Nasehat;
5.
Fungsi Administrasi.
Lahirnya
gerakan reformasi tahun 1998 dan penyelenggaraan pemilihan umum pertama pasca
reformasi tahun 1999 telah menghasilkan kekuatan partai politik yang
menghendaki dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Akhirnya,
perubahan UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali sejak tahun 1999 sampai
dengan tahun 2002. Dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat
tahun 2002 telah melahirkan dua lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial.
Beberapa
alasan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 tersebut antara lain adalah :
Pertama, UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada
kekuasaan tertinggi di tangan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kedua,
UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan
eksekutif/Presiden (executive heavy) yang memberikan kekuasaan dominan
kepada Presiden dengan hak-hak prerogatif (memberikan grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang
bersama DPR. Ketiga, pasal-pasal dalam UUD 1945 terlalu “luwes” dan
“fleksibel” yang mengakibatkan multi tafsir. Keempat, UUD 1945
memberikan kekuasaan kepada Presiden terlalu luas sehingga pengaruh Presiden
dalam pembentukan undang-undang sangat dominan. Kelima, rumusan UUD 1945
tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan
konstitusi yang memuat aturan dasar kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan otonomi
daerah.
Sebelum
amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman yang berpuncak
pada Mahkamah Agung. Pada masa yang lalu, kekuasaan kehakiman banyak
dipengaruhi dan tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya
termasuk pemerintah yang benar-benar mempengaruhi jalannya peradilan yang bebas
dan mandiri.
Setelah
reformasi yang dimulai pada tahun 1998, maka ide untuk melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 mulai muncul sejak tahun 1999 dengan Perubahan Pertama yang
berlanjut hingga Perubahan Keempat pada tahun 2002. Sejak tahun 1999,
sebenarnya telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan kehakiman dalam satu
atap (one roof system) yaitu di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya,
lembaga peradilan mempunyai dua atap, yaitu :
- Peradilan
umum dan peradilan tata usaha negara: pembinaan administrasi, keuangan dan
kepegawaian dibawah pemerintah cq. Departemen Kehakiman (sekarang Dephukham)
dan pembinaan teknis peradilan di bawah Mahkamah Agung R.I.
- Peradilan
agama: pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah Departemen
Agama dan pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
- Peradilan
militer : pembinaan administrasi, keuangan dan kepegawaian dibawah
Departemen Pertahanan dan pembinaan teknis dibawah Mahkamah Agung R.I.
Sistem
dua atap tersebut mulai diakhiri dengan diterbitkannya UU No. 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum
sistem dua atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 Ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka waktu peralihan menjadi
satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut adalah lima tahun sampai dengan
Agustus 2004.
Prinsip Checks and Balances
Hasil
perubahan terhadap UUD 1945 tersebut sebenarnya mempertegas pemisahan
kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, yang sebelumnya
dikesankan sebagai pembagian kekuasaan sehingga seolah-olah kebebasan dan
kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya tidak berifat mutlak
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Saat ini, dengan telah selesainya
peralihan kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, maka
kesan “pembagian” kekuasaan benar-benar telah berubah menjadi “pemisahan”
kekuasaan.
Namun
demikian, pelaksanaan pemisahan kekuasaan negara ini dalam prakteknya tetap
dijalankan dalam kerangka saling mengawasi (checks and balances) agar
ketiga cabang kekuasaan negara tersebut tetap berada dalam keseimbangan.2 Gagasan
perubahan terhadap UUD 1945 merupakan keniscayaan yang alami, karena dalam cyclus
theory, perubahan sistem kekuasaan diktatorial akan selalu menuju pada
sistem kekuasan demokratis, dimana kekuasaan rakyat dominan memegang kekuasaan.
Dalam era Orde Lama dan Orde Baru hampir dipastikan tidak ditemui adanya sistem
checks and balances.
Prinsip
bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dicita-citakan oleh para
pendiri bangsa, juga ditegaskan kembali dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dan
tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3). Dalam negara hukum terkandung prinsip
pembatasan kekuasaan, perlindungan terhadap HAM, tindakan pemerintah harus
didasarkan pada perundang-undangan yang sah dan tertulis (rules and
procedures). Secara umum saat ini terdapat dua belas prinsip negara hukum
yaitu:3
1.
Supremasi konstitusi (supremacy of law)
2.
Persamaan dalam hukum (equality before the law)
3.
Asas legalitas (due process of law)
4.
Pembatasan kekuasaan (limitation of power)
5.
Organ pemerintahan yang independen.
6.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak ( independent and impartial judiciary)
7.
Peradilan tata usaha negara ( administrative law)
8.
Perlindungan hak asasi manusia
9.
Demokratis (democratische rechsstaats)
10.
Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsstaat)
11.
Transparansi
12.
Kontrol sosial.
Prinsip-prinsip
negara hukum tersebut telah tercakup dalam UUD 1945 beserta
perubahan-perubahannya sebagai perwujudan checks and balances antar
pemegang kekuasaan negara menuju terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis, makmur dan sejahtera.
Mahkamah
Agung, sebagai pemegang kekuasan tertinggi di bidang kekuasaan kehakiman,
mempunyai tanggungjawab besar dalam menjaga keseimbangan antar kekuasaan dan
menjaga prinsip independensi peradilan sebagai prinsip utama negara demokrasi.
Independensi lembaga peradilan dijamin berdasarkan hukum internasional, antara
lain :
- Declaration of Human Rights (article 10)
- International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) (article 14)
- Vienna Declaration and Programme for Action
1993 (paragraph 27)
- International Bar Association Code of
Minimum Standards of Judicial Independence, New Delhi 1982
- Universal
Declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983, dan sebagainya.
Baik
sebelum perubahan maupun sesudah perubahan terhadap UUD 1945, Mahkamah Agung
adalah lembaga tinggi negara pemegang kekuasan yudikatif. Setelah perubahan UUD
1945, kekuasaan kehakiman selain berpuncak ke Mahkamah Agung juga berpuncak ke
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi bentukan pasca
perubahan UUD 1945, sebagai konsekuensi logis dari perwujudan gagasan checks
and balances. Menurut Hamdan Zoelva, perubahan UUD ini telah mengintrodusir
lembaga negara yang baru di bidang yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi yang
kedudukannya berada di samping Mahkamah Agung.
Setelah
Perubahan Ketiga, maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945
pasca perubahan, yaitu :
Pasal
24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang.
Pasal
24 A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
(3) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih
dari dan oleh hakim agung.
(4) Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Menurut
Jimly Asshiddiqie, secara kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat mendasar
karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR, menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan
semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan
kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah
dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and
responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan
cita negara yang hendak dibangun yaitu negara hukum yang demokratis.
Gedung Mahkamah Agung R.I Tampak dari atas |
Pembaharuan Mahkamah Agung
Setelah
Perubahan Ketiga UUD 1945, eksistensi peradilan agama juga diberikan kedudukan
yang sederajat dengan badan peradilan lainnya sebagai kesatuan sistem yang
ditentukan berdasarkan UUD. Sebelumnya, meskipun dalam UU No. 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan kesederajatannya, tetapi secara
administratif, manajemen dan penyelenggaraan tugas-tugas peradilan, peradilan
agama tertinggal dibanding badan peradilan umum. Sekarang hal itu sudah tidak
ada lagi karena kesederajatan telah benar-benar direalisasikan, termasuk gaji,
tunjangan, bangunan gedung dan fasilitas lainnya.
Berkaitan
dengan empat kali perubahan UUD 1945, maka undang-undang yang mengatur tentang
Mahkamah Agung yaitu UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah
mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan
terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah
ditentukan dalam UUD pasca perubahan dan tambahan ketentuan lainnya, antara
lain :
Pasal
6A
Hakim
agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
professional dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal
6B
(1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier.
(2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari non karier.
Pasal
11
Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung dan hakim agung diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:
a. meninggal dunia
b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun
c. atas permintaan sendiri secara tertulis
d. sakit jasmani atau rohani secara
terus-menerus selama 3 (tiga) bulan berturut- turut yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter, dan
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan
tugasnya.
Selain
itu, terdapat dua lembaga negara baru bentukan pasca perubahan UUD 1945 yaitu
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan
Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Berkaitan
dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, dimana Pasal 236C
menentukan bahwa penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang tersebut
diundangkan, maka Mahkamah Agung, dengan Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung
Bidang Non Yudisial No. 34/WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah
menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah seperti itu
kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1 Nopember 2008.
Mahkamah
Agung juga melakukan langkah-langkah pembaruan yang telah berjalan sejak tahun
2002, meliputi :
1.
Mediasi
Untuk
mewujudkan asas sederhana, cepat dan murah serta untuk memberikan akses yang
lebih besar bagi para perncari keadilan dalam menemukan penyelesaian perkaranya
secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan, Mahkamah Agung telah
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, yang
dimaksudkan menjadi instrument efektif mengatasi penumpukan perkara.
Untuk
itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA No.
2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
yang telah dinyatakan tidak berlaku dan diperbaharui dengan PERMA No. 1 Tahun
2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2.
Class Action
Class
action adalah
gugatan perwakilan kelompok sebagai akibat dari peristiwa atau kegiatan yang
menimbulkan pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian secara sekaligus,
serentak dan massal terhadap orang banyak, yang karena itu berdasarkan fakta,
dasar hukum dan tergugat yang sama, diajukan dalam satu perkara.
Untuk
itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2002 tanggal 26 April
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
3.
Perluasan Wewenang Pengadilan Niaga
Sejak
tahun 2003, wewenang pengadilan niaga diperluas dengan memasukkan sengketa
mengenai hak atas kekayaan intelektual (HaKI) sebagai kewenangan pengadilan
niaga.
4.
Perkara Persaingan Tidak Sehat dan Anti Monopoli
Perkara
sengketa persaingan tidak sehat dan anti monopoli sebagaimana diatur dalam UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Keberatan
terhadap putusan KPPU tersebut diajukan ke pengadilan negeri dan terhadap pihak
yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri tersebut dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung.
Untuk
itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 03 Tahun 2005 tanggal 18 juli
2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap putusan KPPU.
5.
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan
khusus tindak pidana korupsi untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan wilayah hukum seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasca
Perubahan UUD 1945, maka UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga harus
disesuaikan dan berubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 yang berlaku sejak 15
Januari 2004. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 jabatan Panitera dan Sekretaris (dahulu
Sekretaris Jenderal) yang sebelumnya dijabat satu orang dipisahkan dan dijabat
secara terpisah oleh dua orang. Wakil Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya satu
orang, ditambah menjadi dua jabatan yaitu Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil
Ketua Bidang Non Yudisial.
Setelah
terbentuknya Komisi Yudisial berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004, maka calon Hakim
Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR dan dari nama-nama yang
terpilih tersebut oleh DPR diajukan kepada Presiden untuk diangkat sebagai
Hakim Agung. Dalam musyawarah putusan juga dikenal “dissenting opinion”
yaitu pendapat yang berbeda dari Hakim Agung lainnya dan pendapat tersebut
harus dimuat dalam putusan.
Sekarang,
dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hal-hal yang
telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 seperti tersebut diatas tetap berlaku,
dengan tambahan ketentuan baru mengenai usia pensiun Hakim Agung dari 67 tahun
menjadi 70 tahun.
Perubahan
Ketiga UUD 1945 juga melahirkan lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang
mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga serta
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berdasarkan UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, komisi bertugas :
-
melakukan pendaftaran calon hakim agung;
-
melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
-
menetapkan calon hakim agung, dan;
-
mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Selain
itu, Komisi Yudisial mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim.
Putusan
pengadilan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” mewajibkan hakim untuk menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan
secara horizontal kepada sesama manusia dan secara vertikal terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Ketakwaan terhadap Tuhan menjadi landasan prinsip pedoman hakim dalam
bertingkah laku sesuai dengan agama masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Kode
etik hakim Indonesia telah disempurnakan kembali dalam Munas IKAHI XIII tahun
2000 di Bandung dan ditindak-lanjuti dalam Rapat kerja Mahkamah Agung RI 2002
di Surabaya yang melahirkan rumusan 10 prinsip Pedoman Perilaku Hakim (PPH)
yaitu berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas
tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi,
rendah hati dan professional. Rumusan pedoman perilaku hakim tersebut
dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No.
KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006.9
PPH
tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
karena sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2009 ditentukan bahwa kode etik dan pedoman
perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Dalam Surat
Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial No.
047/KMA/IV/2009-No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009, telah berhasil
menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar