Gedung Mahkamah Agung Tempo Dulu |
Hal
mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian
waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan
terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di
Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.
Pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada
tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi Gubernur Jenderal oleh
Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahan-jajahan Belanda di Indonesia
terhadap serangan-serangan pihak Inggris.
Deandels
banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan terhadap apa
yang diciptakan oleh Kompeni, diantaranya pada tahun 1798 telah merubah Raad
van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah
menetapkan suatu Charter atau Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di
Asia. Dalam Pasal 86 Charter tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan nyata
dari jaman Pemerintahan Daendels terhadap peradilan di bumi Indonesia,
ditentukan sebagai berikut :
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan degan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga”;
Charter
tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek segera diganti
oleh Pemerintah Kerajaan , akan tetapi ketentuan didalam “Charter” tidak
sedikit mempengaruhi Deandels di dalam menjalankan tugasnya.
Masa Pemerintahan Inggris
Sir
Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 19811 diangkat menjadi Letnan Gubernur
untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya, mengadakan perubahan-perubahan antara
lain :
Di
kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie,
didirikan Court Of Justitice, yang mengadili perkara sipil maupun kriminil.
Court of Justitice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme Court of
Justitice, pengadilan appel terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende
gemotiveerd Justitice yang ada di Semarang dan Surabaya.
Masa kembalinya Pemerintahan Hindia
Belanda (1816-1942)
Setelah
peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon, maka menurut
Conventie London 1814, semua daerah-daerah jajahan Belanda yang diduduki oleh
Inggris, dikembalikan kepada negeri Belanda. Penyerahan kembali Pemerintahan
Belanda tersebut di atur dalam St.1816 No.5, yang berisi ketetapan bahwa akan
dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan acara perdata yang berlaku bagi
seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah
sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya untuk
perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie. Dengan
demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan buat Bangsa Indonesia yang
bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan bangsa Indonesia yang
bertempat tinggal di “desa-desa” (di pedalaman).
Untuk
bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut :
Hooggerechtshof
di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing di Jakarta, Semarang
dan Surabaya.
Dengan
Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 No.2a (St.1847 No.23 yo No.57)
yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O) ditetapkan bahwa Susunan Peradilan
di Jawa dan Madura sebagai berikut :
1.
districtgerecht
2.
regentschapsgerecht
3.
landraad
4.
rechtbank van omgang
5.
raad van Justitie
6.
hooggerechtshof
Dalam
fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-perkara banding mengenai
putusan–putusan pengadilan wasit tingkat pertama di seluruh Indonesia, jikalau
nilai harganya lebih dari £.500 dan mengenai putusan-putusan
residentiegerechten – di luar Jawa dan Madura.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Setelah
pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Bala tentara Jepang, maka
dikeluarkanlah Undang-Undang No.1 tanggal 8 Maret 1942, yang menentukan bahwa
buat sementara segala Undang-Undang da peraturan-peraturan dari Pemerintahan
Hindia Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan
peraturan-peraturan Balatentara Jepang.
Mengenai
peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang 1942 No.14 ditetapkan “Peraturan
Pengadilan Pemerintah Balatentera Dai Nippon”. Atas dasar peraturan ini
didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang akan mengadili perkara-perkara
pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk juga Kejaksaan.
Pengadilan-pengadilan bentukan Dai
Nippon adalah sebagai berikut :
1.
Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu.
2.
Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu.
3.
Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu.
4.
Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi hanya
dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali terhadap perkara
tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili dengan 3 orang
Hakim.
Dengan
dicabutnya Undang-Undang 1942 No.14 dan diganti dengan Undang-Undang 1942
No.34, maka ada penambahan badan pengadilan diantaranya Kootoo Hooin
(Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie dahulu dan Saikoo Hooin
(Mahkamah Agung) , lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.
Pada
saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia tidak ada badan Kehakiman
yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman
yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan
keluamya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya
sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya
penunjukan tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II
berbunyi sebagai berikut:
Menundjukkan
sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota DJAKARTA-RAJA:
Baru
dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret
1947.
Pada
tahun 1948, Undang-Undang No. 7 tahun 19,47 diganti dengan Undang-Undang No. 19
tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 mengandung
Mahkamah Agung Indonesia ialah
pengadilan federal tertinggi.
Pengadilan-pengadilan
federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan
pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk
sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat
pertama, dan sekurankurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam
tingkat apel.
Oleh
karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak sesuai dengan
keadaan, maka pada tahun 1965 dibuat UndangUndang yang mencabut Undang-Undang
No. 19 tahun 1948 dan Undang-Undang No. 1 tahun 1950 dengan Undang-Undang Nomor
13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum den Mahkamah
Agung.
Masa Republik Indonesia
Di
jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo
Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-Undang (Osamu Seirei) No. 2.tahun 1944,
yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi
atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun
demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan.
Namun
sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak
diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus
1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi bidang
Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24
Undang-Undang Daser 1945, dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai
pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi.
Mahkamah
Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di
Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah
selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada
dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
Susunan
Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta :
K
e t u a : Mr. Dr. Kusumah Atmadja.
Wakil
Ketua : Mr. R. Satochid Kartanegara.
Anggota-anggota:
1.
Mr. Husen Tirtasmidjaja.
2.
Mr. WWono Prodjodikoro.
3.
Sutan Kali Malikul Add.
Panitera
: Mr. Soebekti.
Kepala
Tara Usaha : Ranuatmadja.
Mulai
pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada dibawah satu
atap dengan Mahkamah Agung, bahkan: bersama dibawah satu departemen, yaitu:
Departemen Kehakiman. Dulu namanya: Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung,
seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya: Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan
Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya
Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961) dibawah Jaksa
Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para
pejabat Mahkamah Agung.(Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan Panitera) mulai
diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7
tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun
1946 tentang Pengadilan Tentara.
Masa menjelang pengakuan Kedaulatan
(tanggal 12 Desember 1947)
Pemerintah
Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang dibentuk oleh Belanda sebagai
negara-negara Bagian seperti Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia
Timur, mendirikan Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hoogierechtshof yang
beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubemur
Jenderal yang sekarang adalah gedung Departemen Keuangan.
Susunan
Hooggerechtshof terdiri atas:
Ketua
: Mr. G. Wijers.
Anggota
:
2
orang Indonesia : Mr. Notosubagio dan Mr. Oeanoen
2
orang Belanda : Mr. Peter
Procursur
General (Jaksa Agung) : Mr. Bruyns.
Procureur
General (Jaksa Agung) : Mr. Oerip Kartodirdjo.
Hooggerechtshof
juga menjadi instansi banding terhadap putusan Raad no Justitie.Mr. G. Wjjers
adalah Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang sebelum perang dunia ke II terkenal
sebagai Ketua dari Derde kamar Read van Instills Jakarta yang memutusi
perkara-perkara banding yang mengenai Hukum Adat (kamar ketiga, hanya terdapat
di Road van Justitie Jakarta).
Pada
saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerahdaerah Republik
Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali kedaulatan
Republik Indonesia area seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat) maka
pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Pada
tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja mengoper gedung dan personil
serta pekerjaan Hooggerechtshof. Dengan demikian maka para anggota
Hooggerechtshof dan Procurer Genera! meletakkan jabatan masing-masing dan
selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat.
Pada
waktu ini Mahkamah Agung terdiri dari:
Ketua
: Dr. Mr. Kusumah Atmadja
Wakil
: Mr. Satochid Kartanegara
Anggota
1.
Mr. Husen Tirteamidjaja.
2.
Mr. Wiijono Prodjodikoro.
3.
Sutan Kali Malikul Adil.
Panitera
: Mr. Soebekti.
Jaksa
Agung : Mr. Tirtawinata.
Mahkamah
Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelismajelis. Semua Hakim Agung ikut
memeriksa dan memutus baik perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara
Pidana. Hanya penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua.
Masa Republik Indonesia Serkat (RIS)
27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950
Sebagaimana
lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka
demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam
Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara Bagian disatu pihak.
Pengadilan
dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara Bagian dilain pihak untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung
Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang lain
Badan-Badan pengadilan menjadi urusan. masing-masing negara Bagian.
Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) yaitu
tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang
mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang
tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman
dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar
Pringgodigdo menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo - lihat halaman 34.
“Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga jaman” Oleh Mr.
Wirjono Prodjodikoro - terbitan tahun 1974). Menurut Undang-Undang Dasar RIS
pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi
pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah
dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950 (I.N. tahun 1950 No. 30)
lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan peradilan umum
saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang No. 13 tahun 1965 yang
mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah
Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh
mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965,
terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Mahkamah
Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi. Sedangkan acara berkasasi di
Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1950
tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi.
Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan
tersebut adalah menafsirkan pasal 70” tersebut sebagai berikut:
“Oleh
karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang
susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya pengadilan di
Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13 tahun 1965 tersebut hanya
mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang bagaimana beracara di Mahkamah
Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965
hanya menghapus Undang-Undang No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan
Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih
tetap memperlakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1950”.
Pendapat
Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah
Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar